Stabil, Bermanfaat, namun Sangat Beracun!
“PCB itu Printed Circuit Board kan ya?”, demikian respon sebagian besar industri pemilik transformator ketika ditanya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada berbagai kesempatan kegiatan Diseminasi Pengelolaan Polychlorinated biphenyls yang Ramah Lingkungan di Pulau Jawa. Tentu saja jawaban tersebut keliru. PCBs yang dimaksud oleh KLHK adalah Polychlorinated biphenyls, yaitu adalah senyawa aromatis yang terdiri dari molekul biphenyl (dua buah cincin benzena yang berikatan), dimana atom hidrogen pada biphenyl digantikkan oleh dua hingga 10 buah atom Khlor (Cl). Terdapat 203 turunan (congeners) PCBs, dengan 130 di antaranya sudah dipergunakan secara komersil, sebagai minyak dielektrik pendingin (coolant) dan insulator listrik pada peralatan listrik, terutama pada transformator dan kapasitor listrik. Hal ini karena Polychlorinated biphenyls memiliki flash point yang tinggi (3800C) sehingga merupakan salah satu senyawa yang sangat stabil.
Karena sifatnya yang sangat stabil, PCBs banyak digunakan sebabai tambahan (additive) pada peralatan yang digunakan pada lokasi-lokasi yang sensitif, seperti pada tambang bawah tanah, rumah sakit, sekolah dan lain-lain. Tujuannya adalah mengurangi resiko panas berlebihan dan terbakar pada peralatan listrik tersebut. Lebih dari 60% PCBs digunakan pada transformator dan kapasitor. PCBs sangat bermanfaat. Namun, setelah digunakan, PCBs ternyata sangat beracun (toxic) dan berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai penyakit dan memicu kanker.
PCBs menjadi lebih berbahaya karena bersifat tahan-urai (persistent), menetap dalam tubuh (bioaccumulative), dan berpindah tempat secara global (transboundary). Artinya, PCBs yang terlepas ke lingkungan (tanah dan air) tidak akan mudah hancur secara alami (karena sangat stabil). PCBs bersifat larut dalam lemak, sehingga akan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup, dan berpindah melalui rantai makanan. Di berbagai belahan dunia, dan di Indonesia, PCBs telah ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan ikan konsumsi. Karena tidak mudah hancur ketika lepas di alam dan menetap dalam tubuh, maka PCBs dapat berpindah tempat secara global melalui siklus air dan angin, dan melalui perpindahan hewan-hewan migran (migratory species). Tidaklah mengherankan jika PCBs telah ditemukan pada ikan paus dan beruang kutub, ditempat yang tidak ada aktivitas manusia sama sekali!
Sejarah dan Dosa PCBs
PCBs pertama kali diproduksi secara komersil pada tahun 1929 oleh Swann Company di Anniston, Amerika Serikat. Pada tahun 1935 perusahaan ini diakuisisi oleh Monsanto Corporation, dan PCB diproduksi secara lebih masif. Jepang, kemudian juga ikut memproduksi PCB pada tahun 1954, diikuti oleh Cina pada tahun 1965. Secara global, jumlah PCBs yang telah diproduksi dan tersebar di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,5 juta ton.
Pada tahun 1930, Badan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat (US Public Health Service), sebenarnya telah mulai mencurigai dampak PCBs terhadap kesehatan manusia. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1937, US Public Health Service mengumumkan bahwa pekerja pabrik PCBs dan keluarganya telah terjangkit kanker kulit yang disebabkan paparan senyawa yang mengandung khlorin (chloracne). Tragedi kemanusiaan terkait dampak negatif PCBs terhadap manusia terjadi di Jepang dan Taiwan pada tahun 1968 dan 1979. Di Jepang, lebih dari 14.000 jiwa terpapar PCBs dimana 500 jiwa diantaranya meninggal. Mereka yang selamat ternyata harus mengalami tragedi yang kiranya sangat lebih menakutkan….
10 Oktober 1968, sebuah koran senja lokal melaporkan wabah epidemi dari yang disebut sebagai “penyakit aneh” (stange disease). Di Fukuoka, Prefektur Kyushu, belasan ribu jiwa mengalami wabah jerawat di sekujur tubuh, pigmentasi kulit (komedo hitam), peningkatan ekresi mata, matirasa dan kelumpuhan pada sekujur tubuh, sakit pada tulang punggung, dan gejala-gelaja tak biasa lainnya. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa seluruh korban telah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan minyak bekatul yang terkontaminasi Polychlorinated biphenyls (PCBs). Gejala-gejala penyakit terkait konsumis minyak bekatul yang terkontaminasi PCBs ini kemudian dikenal secara luas sebagai Penyakit Yusho.
Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana PCBs bisa mengkontaminasi minyak bekatul tersebut. Namun, analisa medis menyatakan dampak yang luas dan lebih berbahaya dapat timbul. Terbukti, bayi yang lahir dari ibu yang terkena “penyakit aneh” mengalami pigmentasi hingga kulit menghitam, dan dikenal dengan fenomena black baby (bayi hitam).
PCBs sesungguhnya tidak hanya membuat kulit menghitam, berjerawat dan lain sebagainya. World Health Organization (WHO), melalui International Agency for Research on Cancer, menetapkan PCBs sebagai agen karsinogenik Kelompok 1. Artinya, secara ilmiah (teoritis dan empiris), PCBs telah dibuktikan memicu kanker pada manusia. PCBs merusak khromoson, sehingga ketika pembelahan sel, sel induk menghasilkan sel anak yang bersifat ganas dan berbahaya. Sehingga, selain kanker kulit, PCBs juga memicu kanker lymphoma dan kerusakan pada sel sperma.
Di kota asalnya, Anniston di Amerika Serikat, PCBs ternyata telah menimbulkan berbagai penyakit pada pekerja pabrik PCBs dan bahkan keluarganya. Tanah dan air di kota tersebut pun telah tercemar. Setelah melalui investigasi dan proses peradilan yang panjang sejak 1985, pada tahun 2003 Pengadilan Negara Bagian Alabama menyatakan bahwa Monstanto Corporation terbukti bersalah dan harus membayar ganti rugi kepada keluarga korban dan Kota Anniston sebesar USD 700 juta atau lebih dari Rp 10 Triliun! Sebuah rekor ganti rugi kerusakan lingkungan yang tidak terpecahkan hingga saat ini.
PCBs telah Dilarang, tapi Masih Beredar!
Setahun setelah tragedi di Jepang, Monsanto Corporation secara resmi menyatakan PCBs berbahaya! Tahun 1971, Monsanto menghentikan produksi PCBs. Ironisnya, PCBs baru secara resmi dilarang di Amerika Serikat pada tahun 1977 dan, secara global, penggunaan pada transformator dan kapasitor masih diperbolehkan hingga tahun 1979. Namun, peralatan listrik—terutama transformator dan kapasitor—yang diproduksi hingga tahun 1985 patut dicurigai masih terkontaminasi PCBs.
Indonesia tidak pernah meproduksi PCBs. PCBs masuk ke Indonesia melalui transformator dan kapasitor yang diproduksi pada periode tahun 70an hingga akhir 80an, dan kemudian diimpor ke dalam negeri. Hampir keseluruhan transformator tersebut mencantumkan nama merek dagang PCBs pada label pengenal alat, seperti Askarel, Arochlor, Chlopen, Chlorextol, dan lain sebagainya. Namun demikian, PCBs ternyata juga ditemukan pada transformator-transformator yang diproduksi di atas tahun 2000.
PCBs tidak muncul atau terbentuk dengan sendirinya. Transformator terbaru tidak lagi menggunakan minyak yang mengandung PCBs. Oleh karena itu, maka dapat diduga bahwa kontaminasi PCBs pada transformator yang lebih baru terjadi melalui kontaminasi silang (cross contamination) dari transformator lama yang mengandung PCBs. Hal ini mungkin terjadi ketika proses perawatan transfomator dengan menggunakan alat yang sama. Peralatan perawatan yang digunakan untuk merawat transformator dengan minyak yang mengandung atau terkontaminasi PCBs, jika tidak dibersihkan dengan baik, maka akan memindahkan PCBs ke transformator lainnya. Untuk memastikan keberadaan PCBs pada transformator, kapasitor dan bahan serta limbah minyak dieletrik, dibutuhkan jasa teknisi yang telah berpengalaman melakukan identifikasi dan inventarisasi PCBs.
Nama Dagang | ||
Aceclor | Diaclor | Orophene PCB |
Sumber: UNEP, 2003
Kewajiban Pengelolaan dan Pemusnahan PCBs Berwawasan Lingkungan
Karena sifatnya yang sangat berbahaya, PCBs dinyatakan sebagai satu dari 28 bahan berbahaya dan beracun yang harus dihentikan penggunaannya secara global dan dimusnahkan. Hal ini tertuang pada Konvensi Stockholm, yang ditandatangani lebih dari 170 negara pada tahun 2001, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 19 tahun 2009. Artinya, Indonesia wajib melakukan langkah-langkah pengelolaan PCBs yang berwawasan lingkungan, sebagaimana diatur dan diamanatkah oleh konvensi.
Kementerian Lingkungan Hidud dan Kehutanan (KLHK), sebagai focal point Konvensi Stockholm, telah menyusun langkah-langkah penghapusan PCBs melalui Rencana Tindak Nasional (National Impementation Plan/NIP) Pengelolaan Bahan Pencemar Organik yang Tahan-urai. Berdasarkan dokumen NIP tersebut, diduga terdapat lebih dari 20.000 ton transformator yang mengandung PCBs. Pemusnahan PCBs harus diawali dengan inventarisasi yang valid secara nasional. Setelah proses inventarisasi yang bersifat sukarela (sebagaimana difasilitasi oleh KLHK, UNIDO dan GEF sejak 2001), inventarisasi PCBs nantinya akan menjadi kewajiban pemilik bahan dan limbah minyak dieletrik, serta peralatan listrik. Apabila terbukti memiliki PCBs, maka pemilik wajib menghentikan penggunaan peralatan yang mengandung PCBs serta melakukan pemusnahan PCBs tersebut paling lambat akhir tahun 2025 dan 2028.